EXHIBITION
Group Exhibition
Nasi Bancak, atau Bancakan yang disajikan di tengah tampah dengan lauk penuh keugaharian dimakan di bawah lantai secara menggorompok antara semua orang mengaburkan strata sosial, dan melahirkan rasa saling memiliki serta menamsilkan setiap jiwa berhak menikmati perayaan, dirayakan dan merayakan.
Kami ini selalu berpikir alangkah beruntungnya seniman: dengan pendekatan profesi paling tidak demokratis, mereka bisa mendikte dan otoriter membentuk opini serta selera. Alangkah beruntungnya seniman: (sepertinya) tidak harus mencari sesuap nasi, berasnya datang sendiri; berkarung-karung pula dibawa pemuja karya yang rela menunggu lama. Alangkah hebatnya seniman: setiap karya dianggap berlapis ilmu, buat kami para umat seni jadi sumber inspirasi yang batasnya hanya imajinasi.
Tapi itu dulu.
Sekarang? Datanglah musim bienalle, trienalle , art ‘ini’, art ‘itu’ dan pameran berseri bak FTV yang membuat waktu sepertinya jadi parameter paling penting dari proses seniman berkarya. Berkesenian bukan lagi perjalanan ‘mencari’ yang dulu terdengar seksi. Deretan acara ‘pertunjukan’ itu menyulap seniman jadi politikus demokrasi: harus mendengar kebutuhan (pasarnya) dan jeri terhadap komentar kolega. ‘Pabrik’ karya seni lalu bekerja dengan tenggat linier; ingkar bahwa ekplosi yang mendebarkan akan terjadi, jika waktu dilalui dalam sebuah perulangan kesadaran, bernama siklus. Seniman mungkin lupa, karya yang sungguh bergizi hanya bisa terjadi, jika kalian punya waktu merawat batin sendiri. Jika tidak, semua yang kini banyak bertebaran, jadi seperti produk berulang pabrik cetak bungkus permen yang hanya beda di gambar dan merk saja. Maafkan.
Sampai di jalur repetisi ini, berkesenian dan rangkaian pertunjukannya seperti cuma jadi arena mencari pengakuan. Dari para kolega atau diktator selera berkedok kritikus yang mengerumuni acara selalu di hari pertama. Ada vitrase tipis yang menyelimuti, membuat setiap karya jadi sungguh indah, sempurna, selesai dan takut terlihat salah. Diskusi seputarnya akan dimulai dengan kata ‘berapa’ dan tidak lagi ‘kenapa’. Buat kami, sensasinya jadi berbeda. Kalau senimannya jadi tertib dan menahan diri, lalu apa yang tersisa buat umat seni yang sabar menanti kucuran hal tak terduga?
Bancak sepertinya ingin membangun tradisi sendiri. Jika belum bisa di tahun pertama, berikutnya harus perlahan jadi selebrasi yang isinya bukan sekedar repetisi. Kata Bancak sendiri punya kandungan spiritual yang dalam, tidak sekedar perayaan akan pencapaian; tapi juga keterbukaan menerima kegagalan. Dan bahwa hidup berseni yang (terlihat) sederhana ternyata bisa juga lho berguna. Bancak perlu mengingatkan, bahwa jadi seniman itu sebuah laku hidup yang selalu berada di ruang transisi. Setiap panggung ‘pertunjukan’ nya harus bisa menjadi titik baru, karena hidup untuk maju tidak cukup hanya pasrah pada evolusi. Seniman dan ladang karyanya harus bisa jadi bensin pembakar kami umat seni untuk menuju laku revolusi. Mungkin dengan kesadaran ini, Bancak bisa memberi seniman sedikit ‘ruang gila’ di belantara kesenian yang arahnya jadi terlalu mudah untuk diduga. Tugas ini perlu dimulai dengan seluas-luasnya membuka pintu, supaya pertunjukan yang dilakukan bisa memberi banyak pilihan bagi jawaban baru yang terus kami cari. Perayaan tidak perlu membatasi, juga tidak usah terlalu menggurui. Supaya Bancak menjadi tempat seperti bayangan kami bagaimana seharusnya karya seni terjadi:
Mungkin lebih spontan?
Mungkin liar?
Mungkin tidak sempurna?
Tidak perlu demokratis?
Lebih Jujur?
Dan membuat kami berhenti mencari jawaban atas pertanyaan: “Pameran seni untuk apa?”
Ary Indra
(Umat seni, rindu menikmati seni seperti jaman dahulu)
If you are interested with the artworks, please contact us through e-mail ningartspace@gmail.com